Taman dan Jiwa

Ada kebiasaan  yang menurut saya positif ditunjukkan ayah saya kepada saya dan cucunya, yaitu di saat-saat usia senjanya beliau masih suka memelihara anggrek di depan rumahnya. Seperti ada kekuatan hidup ketika mengerjakannya, melupakan ketuaan yang datang saat mengarungi lansianya..

Saya membayangkan kalau saya setua itu cuma duduk-duduk dikursi malas atau tidur-tiduran menunggu panggilanNya, apalah amalan saya yang bisa dikenang cucu saya. Itu salah satu pelajaran positif bagi saya, yaitu selalu ada kegiatan hidup di saat mengarungi usia tua dengan penuh kegembiraan menatap bunga anggrek mewujudkan rasa syukur kepada sang pencipta keindahan. Ada rasa ketenangan di situ.

Ketika ingatan saya melayang ke sebuah desa, tepatnya di Gunung Kidul, Yogyakarta, di sana saat musim penghujan tiba, ada juga sosok orang tua seperti ayah saya, bapak adik ipar saya yang tuanya hampir sama, semangat hidup juga sama, cuma bedanya tinggalnya di desa.  Dengan tapak langkah yang masih gagah naik turun bukit memelihara ternak dan sawah, tidak ada keluh dan kesah ketika bercerita. Ternyata ada ketenangan jiwa di sana yang bisa kita lihat dari pancaran wajahnya.

Bagaimana kalau kita berkaca sekarang pada keseharian hidup kita. Pertama, yang paling kelihatan dari tampilan wajah adalah  kerutan, walaupun usia masih terbilang muda, tapi kebanyakan  dari kita  lebih tua dari umur kita . Kenapa?

Unsur menikmati hidup yang menjadi kunci ketenangan jiwa tidak ada atau kalauupun ada tidak banyak tetapi cuma sedikit. Saya bisa melihat ketika stres di jalan karena macet atau beragam persoalan hidup lainnya. Jalan keluarnya sesaat, yaitu paling banyak dugem, yaitu intinya melupakan sejenak masalah.

Ketika manusia yang hidup di kota mencari penghidupan dan berkarya, alam terpinggirkan dikalahkan dengan kepentingan ekonomi semata-mata. Cara berkehidupan dikota tidak lagi manusiawi, Jalur hijau mengalah untuk moda transportasi sekarang. Sedang dilingkungan perumahan, lahan terbuka hijau menjelma menjadi apartemen bahkan dalam skala kecil dibangun banyak rumah petak yang dikontrakkan pada kaum urban, bahkan untuk rumahnya rela tidak bertaman dan anak-anaknya terpaksa rela tdak memiliki ruang bermain. Walaupun ada orang yang memiliki taman bagus, tetapi masih banyak tidak fungsional buat orang lain, Taman tersebut hanya menjadi simbol status hidup, terpagar rapat terisolasi dari kehidupan bersama.

Taman tidak menjadi sarana comunitas bersama, sang pemilik taman biasanya berangkat berkarya pagi-pagi sekali dan kembali malam larut, jadi taman siapa yang menikmati? Keberadaan taman akan menjadi penenang jiwa  ketika kita ikut larut secara emosinal menata dan mengarahkan estetika taman, tidak melulu fisik. Saat keindahan dapat kita buat atau pertahankan dengan lanscaper kita,  baru akan terasa kesejukan di raga dan ketenangan di batin, karena kita berbagi kehidupan dengan melestarikan alam.

Masalahnya memang buat mereka yang tidak berbagi dengan alam, apakah mau berbagi dengan manusia sesamanya. Setidaknya alam mengajarkan kita untuk hidup tidak untuk sendiri. Ada keindahan hidup bersama seperti indahnya taman bila kita bangun dan pelihara sebaik-baiknya, ikut larut didalamnya menikmati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *